Dimas Maulana Dwi Saputra

Bulan, Unordinary Woman - Bab 1: Dahaga

storybulan

Siksa Dahaga | Penyakit langka yang hanya menimpa mereka yang tak menghiraukan kelezatan kantin saat jam pelajaran.

Bab 1: Dahaga

Desember 2012, bulan di mana seluruh pelajar SMA di negeri ini merasa kehilangan semangat di kelas-kelas mereka. Angan-angan mereka telah menjelajah jauh, berlibur di tempat yang tak terjangkau oleh kurikulum. Namun, terdapat satu sosok di depan kursiku yang selalu terlihat haus akan setiap kata yang terucap oleh guru-guru di ruang kelas. Dahaga akan ilmu sekolah, sebuah penyakit langka yang hanya menyerang mereka yang tak menyadari kelezatan berada di kantin selama jam pelajaran berlangsung.

Hari ini, tepat tiga hari sebelum pembagian rapor. Anehnya, aku bukanlah salah satu dari mereka yang menderita penyakit dahaga, namun entah mengapa, sering kali namaku masuk dalam daftar sepuluh besar, bahkan tak jarang lima besar pun berhasil kutempati.

Salah satu mata pelajaran yang benar-benar kusukai sejak SD adalah Informatika. Sejak kecil, teknologi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Mungkin sejak dulu aku telah menyumbangkan diriku pada keapatisan, tak peduli pada sekitar, enggan bermain, dan menolak bersosialisasi.

Ibu pernah menceritakan padaku tentang masa kecilku, ketika aku berkata, "Bu, mengapa orang-orang bermain di luar saat hujan? Tidak lebih baik berada di dalam rumah dan bermain Nintendo sepuasnya?". Dengan kata-kata seperti itu, ibu tampaknya mulai merasa khawatir terhadap sifat apatisku, takut bahwa aku akan meniru Ayah.

Banyak anak yang mengidolakan Ayahnya, bermimpi menjadi seperti Ayah ketika dewasa. Namun, aku menolak keras menjadi seperti Ayahku. Bukan karena Ayahku bukanlah manusia yang layak, sebenarnya Ayahku baik, hanya saja terlalu nyaman dalam keadaan tertentu, dan sedikit kurang bertanggung jawab. Meskipun begitu, aku tetap sangat mencintai Ayahku.

Maka dari itu, setiap kali pembagian rapor tiba, aku tak ingin Ayah yang mengambilnya. Jujur saja, jika itu terjadi, aku merasa malu karena belum ada sesuatu yang dapat dibanggakan dari Ayahku. Jika Ibu tak bisa mengambilnya untukku, lebih baik aku sendiri yang melakukannya. Untungnya, sejak masuk SMK, ritual itu sudah tidak lagi dilakukan oleh orang tua.